Jumat, 31 Desember 2010

Lima Langkah Membina Keluarga Bahagia Bertabur Cinta

Sebesar perhatiannya terhadap
keberlangsungan hidup sebuah bangsa,
sebesar itu pulalah perhatian Islam kepada
keluarga. Karena tidak akan mungkin
sebuah bangsa mampu berdiri tegak
dalam kekokohan tanpa didasari oleh
keluarga-keluarga yang juga kokoh dan
berdaya tahan.
Keluarga merupakan unit terkecil yang
menyusun bangunan sebuah negara.
Ibarat sebuah cermin, keluarga dapat
menjadi miniatur untuk melihat baik-buruk,
kokoh-rapuh, serta maju-mundurnya
setiap negara di mana unit-unit keluarga itu
berada. Keluarga juga merupakan titik
tolak, yang menjadi landasan pacu bagi
setiap anggotanya untuk menjadi sebagai
apa yang dicita-citakan.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa
orang-orang besar dan berpengaruh lahir
dari rahim keluarga-keluarga harmonis.
Sementara orang-orang kerdil dan inferior,
kebanyakan berasal dari keluarga sarat
konflik, kering dari nilai ketuhanan dan
kasih sayang.
Setiap orang, pasti mendambakan anak,
istri, suami yang berkepribadian
mengagumkan. Mendapat kesuksesan
dunia: fasilitas hidup nyaman, rumah yang
luas, kendaraan yang bagus, harta yang
banyak, status social yang tinggi, disenangi
kawan, disegani lawan, dan lain-lain. Juga
sukses akhirat: memperoleh ridha Allah,
dibebaskan dari siksa neraka dan masuk ke
dalam surga dengan sejahtera.
Namun, sangat disayangkan, banyak
orang dengan dalih ingin meraih
keberhasilan dan mengangkat derajat
keluarga seseorang pergi ke tempat-tempat
yang jauh dengan menelantarkan
keluarganya. Mengerjakan aktivitas yang
tak berkaitan dengan tujuan yang dicita-
citakan, selain isapan jempol dan
permainan angan. Mereka mungkin lupa
bahwa sesungguhnya rahasia kesuksesan
itu ada di tengah-tengah keluarga.
Untuk itu, setiap suami dan istri,
semestinya memberikan perhatian yang
tinggi terhadap keluarga; Menggali sebab-
sebab yang mempengaruhi kemampuan
keluarga menghadiahkan kesuksesan yang
kepada semua anggotanya; mengasah
ketajamannya; serta memupuk
kesuburannya.
1. ORIENTASI
Tidak semua orang mempunyai orientasi
yang sama dalam membangun
keluarganya. Ada yang mendasarinya
dengan orientasi duniawi: kesenangan,
kekayaan, kekuasaan, keturunan dan
kecantikan/ketampanan. Ada pula yang
melandasi dengan orientasi ukhrawi. Yang
pertama tidak akan mendapat bagian apa-
apa di akhirat. Sementara yang kedua, akan
merengkuh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Allah SWT menerangkan, “Barang siapa
yang mengharapkan kehidupan dunia dan
perhiasannya maka Kami akan penuhi
keinginan mereka dengan membalas amal
itu di dunia untuk mereka dan mereka di
dunia tidak akan dirugikan. Mereka itulah
orang-orang yang tidak meraih apa-apa
ketika di akhirat melainkan siksa neraka dan
lenyaplah semua amal yang mereka
perbuat selama di dunia dan sia-sialah
segala amal usaha mereka ” (Qs. Hud 15-16)
Keluarga dengan orientasi ukhrawi adalah
keluarga yang terdiri dari pribadi-pribadi
yang tidak menautkan tujuan di dalam
hatinya selain kepada surga dan ridha
Allah. Dimulai sejak akan menikah; ketika
memilih pasangan, pada saat
melangsungkan pernikahan hingga setelah
terbentuk sebuah rumah tangga; berperan
sebagai suami, istri dan orang tua.
Sehingga, segala bentuk pemikiran, kata
maupun perbuatannya adalah wujud dari
harapan yang besar akan perjumpaan
dengan Allah.
Kekhusyukan dalam hal ini menjadi
teramat urgen. Karena hanya dengan hati
yang khusyuk sajalah seseorang dapat
menjaga keistiqamahan dalam berorientasi.
Bahkan dalam kondisi-kondisi ketika
dihantam musibah yang mengguncangkan
jiwa sekali pun, orang yang khusyuk
senantiasa tetap sadar bahwa orientasi
hidupnya hanyalah Allah SWT.
Firman Allah, “Yaitu, orang –orang yang
apabila ditimpa musibah ia mengucapkan:
‘ inna lillahi wa innaa ilaihi roojiuun…” (Qs.
Al-Baqarah156).
Lalu, bagaimanakah jika kesadaran untuk
menjadikan Allah sebagai orientasi dalam
berkeluarga itu muncul setelah
berkeluarga? Mulailah sekarang juga untuk
memperbaikinya. Mengikhlaskan apa saja
yang telah berlalu, dan berharap kepada
Allah terhadap setiap hal yang diusahakan
untuk keluarga anda.
2. CINTA
Allah telah mengabarkan kepada kita,
bahwa cinta tertinggi setiap mukmin adalah
kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya.
Setelah itu, baru cinta kepada orang tua,
suami, istri, anak, saudara seiman dan lain-
lain.
Firman Allah, “Katakanlah, jika bapak-
bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-
istri, kaum kerabat, harta benda yang kalian
miliki, dan perniagaan yang kalian khawatiri
kerugiannya, itu lebih kalian cintai dari pada
Allah, Rasul dan berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah hingga Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang zalim ” (Qs. At-Taubah 24).
Untuk menghadirkan cinta tertinggi di
lubuk sanubari, setiap pasangan suami-istri
harus berusaha menjaga perasaan cinta di
dalam diri dan keluarganya. Mampu
menjaga ikatan cinta di antara mereka dan
tahu hal-hal yang dapat kian
menumbuhsuburkan perasaan cinta di
dalam hatinya. Karena kekuatan cinta
suami istri turut berperan dalam
mengokohkan cinta kepada Allah SWT.
Seorang mantan aktris yang kini aktif di
dunia parenting islami mengungkapkan
apa yang menurutnya dapat menyuburkan
cinta suami kepada istri dan sebaliknya,
“ Setiap suami akan merasakan cinta kepada
istrinya kian menguat bukan karena
kelihaian syahwat, melainkan karena
kelapangan hati istri dalam menerima
nafkah dan rezeki, kepandaian menjaga
harga diri suami dengan pergaulan yang
suci dan baik –terutama dalam pergaulan
dengan lawan jenis– dan karena
keterampilan serta kesabarannya dalam
mendidik dan mengasuh buah hati
mereka. ”
Sungguh, amat besar pahala yang
dijanjikan kepada istri yang ikhlas dalam
mengurus rumah tangga dan anak-
anaknya. Dalam sebuah riwayat Rasul
SAW bersabda: “Siapa di antara kalian yang
ikhlas tinggal di rumah untuk mengurus
anak-anak dan melayani segala urusan
suaminya, maka ia akan memperoleh
pahala yang kadarnya sama dengan pahala
para mujahidin yang berjuang di jalan
Allah ” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sementara istri,” lanjutnya, “bertambah
kuat cintanya kepada suami bukan karena
jumlah uang belanja yang tak ada batasan
atau pemberian hadiah permata, baju,
sepatu, berlian, zamrud, dan emas tidak
berputusan dan berkeliling dunia kapan
saja bisa. Tidak! Banyak ratu-ratu menjalin
cinta dengan lelaki biasa bukan karena
pemberian dan jaminan raga, melainkan
karena kelembutan hati dan ketertimangan
diri. ”
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan
ada tiga faktor yang menyebabkan
tumbuhnya cinta:
1. Sifat/kelebihan yang dimiliki oleh
seseorang sehingga ia kagum dan jatuh
cinta padanya,
2. Perhatian sang kekasih terhadap sifat-
sifat tersebut, dan
3. Pertautan antara seseorang yang sedang
jatuh cinta dengan orang yang dicintainya.
Di atas semua itu, keshalihan dan
kedekatan dengan Sang Maha Dekat, akan
membuat daya “magnet” seorang suami/
istri bertambah kuat. Karena keshalihan dan
kedekatan kepada sang Khaliq akan
mengundang cinta-Nya. Dan manakala
Allah telah mencintai kita, maka akan
mencintai kita pula segenap makhluk
dengan ijin-Nya.
Cinta seorang istri kepada suaminya, atau
suami kepada istrinya, bukan lagi semata
karena ikatan perkawinan. Namun, ada dan
tidaknya hal-hal yang menjadi sebab
datangnya cinta Allah sebagai alasan.
Sehingga, kadar cinta suami/istri akan
bertambah dan berkurang, seiring
meningkat dan menurunnya kualitas
ibadah dan keimanan pasangannya.
Keduanya senantiasa menyadari, bahwa
cinta yang tidak dibangun di atas pondasi
mahabatullah, hanya akan menjerumuskan
ke dasar jurang kelalaian dan kenistaan.
3. NAFKAH
Meski bukan segalanya, nafkah berupa
materi tetap menjadi sesuatu yang tidak
bisa diremehkan begitu saja. Dalam sebuah
penelitian disertasi doktoral, Jan Andersen
menemukan 70% responden mengakui
bahwa keuangan merupakan penyebab
perceraian. Karena keluarga tak mungkin
bisa berjalan tanpa ada nafkah yang
menggerakkan roda perekonomiannya.
Materi bagi keluarga-keluarga muslim
menjadi sarana pemenuhan tuntutan
syariat, menjaga ‘iffah (kemuliaan diri) dari
meminta-minta, serta sebagai pembatas
agar tidak dekat kepada kekafiran.
Islam mewajibkan bagi orang yang
mampu untuk memberi nafkah. Allah
Ta ’ala berfirman, “Hendaklah orang yang
mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang telah Allah berikan kepadanya.” (Qs.
Ath-Thalaq 7).
Bahkan Rasul SAW mengingatkan dalam
haditsnya: “Seseorang itu cukup berdosa
bila ia menyia-nyiakan orang yang harus
diberi belanja. ” (HR. Abu Daud dan lain-lain)
Tidak harus banyak, asalkan halal. Banyak
sedikit sangat relatif. Namun, kehalalan
nafkah yang diberi, tidak bisa ditawar-
tawar. Mengabaikan kehalalan dapat
berakibat sangat fatal bagi semua pribadi di
dalam keluarga: tidak diterima doa dan
ibadahnya, mendorong berperilaku
menyimpang, menghalangi ketaatan
hingga menjadi penyebab terlemparnya ke
dalam Jahanam.
Menenteramkan sungguh kalimat-kalimat
yang mengalir dari lisan istri-istri sahabat
dan generasi salafus shalih setiap kali
mengantarkan suami-suami mereka yang
hendak mengais rezeki: “Suamiku,
bertakwallah kepada Allah terhadap apa
yang akan engkau nafkahkan kepada kami.
berikanlah kepada kami hanya nafkah yang
halal. Karena perihnya kelaparan dapat
kami tahan, sementara panasnya neraka
yang memanggang tak mungkin
membuat kami dapat bertahan.”
4. BERBUAT ADIL
Adil berarti menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Lawan adil adalah zalim. Dan
ukuran yang paling tepat untuk menilai adil
atau zalimnya seseorang adalah Al-Qur ’an.
Karena hanya Al-Qur’an sajalah yang tidak
mengandung perselisihan di dalamnya.
Sehingga tidak akan membuat siapa pun
bingung harus bersikap seperti apa.
Berbeda sangat jauh dengan hukum/
aturan apa pun buatan manusia yang
mudah diinterpretasikan sekehendak
hatinya.
Adil tidak terbatas pada suami istri harus
memenuhi setiap kewajibannya sebagai
suami terhadap istri maupun sebagai istri
terhadap suami, juga kewajiban keduanya
terhadap anak-anak mereka. Akan tetapi
adil, meliputi pemenuhan terhadap semua
perintah dan larangan Allah yang mengenai
diri setiap pribadi di dalam keluarga.
Suami yang adil adalah, yang taat kepada
Allah, melaksanakan tugas memimpin,
menafkahi dan mendidik istri dan anak-
nya. Istri yang adil adalah yang memenuhi
semua perintah Allah SWT dan larangan-
larangannya, taat, menjaga harta,
kehormatan diri dan suaminya, dan
mengasuh secara baik anak-anaknya.
Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya
Allah memiliki hak atas dirimu yang harus
engkau tunaikan, dirimu memiliki hak yang
harus engkau tunaikan, dan keluargamu
memiliki hak atas dirimu yang harus
engkau tunaikan. Maka tunaikanlah hak-hak
masing-masing dari semua itu. ” (HR.
Bukhari).
Rasul SAW juga menyebutkan, bahwa ada
tiga hal yang dapat menyelamatkan. Di
antara ketiga hal itu adalah: “Berbuat adil
dalam keadaan ridha (senang) maupun
dalam keadaan benci ”
….Tidak seorang pun yang tidak
memerlukan nasihat orang lain.
Suami, membutuhkan nasihat
istrinya. Istri mengharapkan
bimbingan suaminya ….
5. SALING MENASEHATI
Tidak seorang pun yang tidak memerlukan
nasihat orang lain. Suami, membutuhkan
nasihat istrinya. Istri mengharapkan
bimbingan suaminya. Anak-anak
merindukan untaian lembut nasihat kedua
orang tuannya. Orang tua, terkadang perlu
mendengar pendapat anak-anaknya.
Ingat apa yang dilakukan Ibunda Khadijah
terhadap Rasulullah SAW sesaat setelah
turun wahyu yang pertama? Ketika sekujur
tubuh Rasulullah SAW menggigil karena
khawatir akan keselamatan dirinya, wanita
agung itu hadir dengan nasihat-nasihat
yang menenteramkan jiwa.
“ Bergembiralah dan tenteramkanlah
hatimu. Demi Allah yang menguasai diriku,
“ Allah SWT tidak akan mengecewakanmu.
Engkau orang yang sentiasa berusaha
untuk menghubungkan tali persaudaraan,
selalu berkata benar, menyantuni anak
yatim piatu, memuliakan tamu dan
memberi bantuan kepada setiap orang
yang ditimpa kesusahan. ”
Rasul SAW melukiskan kesannya yang
mendalam: “Khadijah beriman kepadaku
ketika orang-orang mengingkari. Dia
membenarkan aku ketika orang-orang
mendustakan. Dan dia memberikan
hartanya kepadaku ketika orang-orang
tidak memberiku apa-apa. Allah
mengaruniai aku anak darinya dan
mengharamkan bagiku anak dari selain
dia ” (HR. Imam Ahmad).
Nasihat (dengan ijin Allah), dapat membuat
yang lupa menjadi ingat. Yang tersesat
kembali selamat. Dan yang lemah jadi
bersemangat.
Demikian indah kiasan yang Allah berikan
bagi pasangan suami istri. Dalam surat Al-
Baqarah 187 Allah menyebut: “Mereka (istri-
istrimu) itu adalah pakaian bagimu dan
kamu pun adalah pakaian bagi mereka !”
Apa saja yang dilakukan oleh pemilik
pakaian terhadap pakaian kesayangannya?
Tentu, bukan hanya memakai secara terus
menerus sampai pakaian tersebut usang,
bau dan sobek sana sini. Orang yang bijak,
selain memakai ia pun akan berpikir untuk
menjaga agar pakaiannya tidak koyak,
senantiasa dalam keadaan halus, harum
dan wangi. Karenanya, setiap kali
pakaiannya itu kotor, ia akan memilihkan
detergen yang terbaik untuk mencuci.
Setelah kering, pakaian itu akan diseterika
dan diberi wewangian. Lalu, diletakkan di
tempat yang terbaik di dalam lemari.
Maka, demikian pula yang seharusnya
dilakukan seorang suami/istri terhadap
pasangannya. Ia akan selalu menjaga
kebersihan jiwa dari segala hal yang
mengotorinya. Menghiasi dengan wangi
akhlak yang terpuji. Dan membentengi dari
ancaman apa pun yang dapat merusakkan
hati. Mereka akan selalu saling menasehati
untuk menetapi kebenaran dan kesabaran,
sebagai wujud kasih sayang dan perhatian
yang mendalam. Sebelum segalanya
terlambat, dan taubat pun tiada lagi
bermanfaat.
Semoga keluarga-keluarga kita menjadi
keluarga yang mulia dan dimuliakan.
Dipenuhi cahaya iman dan ketakwaan. Dan
ditaburi cinta yang tak berkesudahan.
*) Penulis adalah, Alumni Fakultas Teknik
Universitas Cenderawasi Jayapura, dan Kini
bekerja di LPMP Papua.

1 komentar:

andy mengatakan...

gmn . . Sukses ngblognya..